image

Wasting & Stunting

Indonesia mengalami peristiwa penting untuk menjadi negara berpenghasilan menengah. Diantaranya penurunan angka kematian anak dan meningkatnya penerimaan anak di sekolah dasar. Namun belum ada peningkatan status gizi anak. Masih banyak anak dan remaja terancam dengan tingginya angka anak bertubuh kurus (wasting) dan bertubuh pendek (stunting)¹.

Anak Bertubuh Kurus (Wasting)

Anak kurus adalah kondisi anak menderita gangguan gizi dengan diagnosis ditegakkan melalui penilaian Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB). Wasting merupakan kondisi kekurangan gizi akut, BB anak tidak sesuai TB atau nilai Z-score kurang dari -2SD (Standar Deviasi). Anak kurus merupakan masalah gizi akibat peristiwa yang terjadi dalam waktu tidak lama seperti kekurangan asupan makanan. Bila pengukuran Z-score kurang dari -3SD disebut sangat kurus (Severely Wasting) atau Gizi Buruk².

Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi wasting balita 10,2% dan 3,5% (sekitar 805.000) balita merupakan severely wasting. Berdasarkan peta persentase sangat kurus dan kurus usia 0-59 bulan menurut provinsi tahun 2016 dari 34 provinsi tidak ada yang terbebas dari masalah gizi akut, karena prevalensi gizi akut di semua provinsi di Indonesia > 5% (standar WHO)³.

 

Penyebab wasting 3 kategori yaitu faktor Ibu (ASI Eksklusif, Pola Asuh, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan), faktor Anak (Jenis Kelamin, Usia, Asupan Nutrisi, Penyakit Infeksi dan BBLR), faktor Keluarga (Ketahanan Pangan Keluarga, Tingkat Ekonomi dan Jumlah Anggota Keluarga)² ³.

Pencegahan Gizi Buruk
Pencegahan gizi buruk balita perlu dilakukan sedini mungkin, berikut prinsip umum dan sesuai usia balita¹.
› Penyiapan kesehatan dan status gizi ibu hamil dilakukan
sejak masa remaja dan saat usia subur
• Menerapkan pola hidup sehat bergizi seimbang untuk
memenuhi kebutuhan gizi dan mencegah
Kekurangan Energi Kronis (KEK).
• Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).
• Mendapatkan konseling pranikah.
• Mencegah pernikahan dini dan kehamilan pada remaja.
• Meningkatkan kepesertaan Keluarga Berencana (KB).
• Menerapkan praktik higiene dan sanitasi personal
serta lingkungan.

› Ibu hamil mendapat pelayanan Antenatal Care (ANC)
terpadu berkualitas sesuai standar.
› Peningkatan status gizi dan kesehatan, tumbuh kembang
serta kelangsungan hidup anak melalui strategi

Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) yang dilakukan dengan praktik “Standar Emas Makanan Bayi dan Anak”.
• Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
• ASI Eksklusif (0-6 Bulan)
• Pemberian MP ASI mulai usia 6 bulan
• Pemberian ASI diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih

 

Fase Perawatan dan Pengobatan Gizi Buruk Pada Balita
1. Fase Stabilisasi : fase awal perawatan umumnya 1-2 hari, tetapi dapat berlanjut sampai satu minggu sesuai kondisi klinis anak. Pemantauan fase ini mencatat tanda-tanda vital (denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu badan), tanda-tanda bahaya, derajat edema, asupan formula, frekuensi defekasi, konsistensi feses, volume urine dan berat badan.

2. Fase Transisi : masa peralihan dari fase stabilisasi ke fase rehabilitasi tujuannya memberi kesempatan tubuh beradaptasi terhadap pemberian energi dan protein yang meningkat. Pemantauan fase ini seperti fase stabilisasi.

3. Fase Rehabilitasi : fase ini diberikan di layanan rawat jalan maupun rawat inap, fase pemberian makanan untuk tumbuh kejar. Pemberian energi 150-220 kkal/kgBB/hari dalam bentuk F100 atau RUTF, bertahap ditambah makanan sesuai berat badan, selama 2-4 minggu. Kemajuan terapi dinilai dari kenaikan berat badan setelah fase transisi dan mendapat F100 atau RUTF.

4. Fase Tindak Lanjut : lanjutan pemberian makanan untuk tumbuh kejar dengan pemberian makanan keluarga dan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)¹.

Anak Bertubuh Pendek (Stunting)

Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi berhubungan dengan ketidakcukupan zat gizi masa lalu termasuk masalah gizi kronis. Stunting diukur sebagai status gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur dan jenis kelamin balita. Stunting atau perawakan pendek (shortness). Suatu keadaan Tinggi Badan (TB) tidak sesuai dengan umur, penentuannya dilakukan dengan menghitung Z-score Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Dikatakan stunting bila Z-score TB/U-nya di bawah -2 SD (Standar Deviasi).

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi tidak hanya faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita. Intervensi untuk mengurangi prevalensi stunting dilakukan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. 1000 HPK terdiri 270 hari selama kehamilan dan 730 hari (dua tahun) kehidupan anak. Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting adalah sebagai berikut :
• Praktik pengasuhan kurang baik, kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan.
• Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
• Kurangnya akses rumah tangga ke makanan bergizi, karena di Indonesia mahal.
• Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Faktor lain adalah Kurang Energi Kronis (KEK) wanita usia subur 15-49 tahun, baik hamil maupun tidak hamil. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi risiko KEK pada wanita hamil 24.2%, pada wanita tidak hamil adalah 20.8%.

Strategi Mengatasi Stunting

Merujuk UNICEF/Lancet, stunting disebabkan pengaruh pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan dan ketahanan pangan. Pola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga dikaitkan dengan strategi implementasi program yang harus dilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif (ASI) sampai 6 bulan, dilanjutkan Makanan Pendamping ASI (MPASI) sampai 2 tahun untuk membantu proses tumbuh kembang bayi dan anak. Rendahnya IMD dan ASI eksklusif menyangkut konselor ASI yang belum merata di seluruh Puskesmas.

Pelatihan konselor ASI dilakukan sampai tingkat kabupaten, tapi ke seluruh Puskesmas tidak ada informasi berapa persentasenya. Dari Puskesmas belum tahu berapa persen petugas konseling pentingnya IMD dan menyusui eksklusif. Kesenjangan lain masih lemahnya pemantauan pelanggaran dan penegakan hukum terhadap penggunaan susu formula dan belum semua tempat kerja menyediakan tempat menyusui sesuai kebutuhan.

Bayi lebih 6 bulan walau masih menyusui sampai 2 tahun, memerlukan makanan pendamping agar pemenuhan gizi untuk tumbuh terpenuhi. WHO/UNICEF mengharuskan bayi 6-23 bulan dapat MPASI yang adekuat dengan ketentuan dapat menerima minimal 4 atau lebih dari 7 jenis makanan (serealia/umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur, sumber protein lain, sayur dan buah kaya vitamin A, sayur dan buah-Minimum Dietary Diversity/MMD).

Di samping itu bayi harus memenuhi ketentuan Minimum Meal Frequency (MMF), yaitu bayi 6-23 bulan yang diberi atau tidak diberi ASI, sudah mendapat MP-ASI (makanan lunak/ padat, termasuk pemberian susu yang tidak mendapat ASI), frekuensi pemberiannya sebagai berikut :
› Bayi yang diberi ASI :
• Umur 6-8 bulan : 2X/hari atau lebih
• Umur 9-23 bulan : 3X/hari atau lebih
› Bayi 6-23 bulan yang tidak diberi ASI : 4X/hari atau lebih.

Daftar Pustaka
1. RI KK. Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk Pada Balita di Layanan Rawat Jalan.
Kedokteran 2020.
2. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kejadian Wasting Pada Anak Balita.
Kedokteran 2020.
3. Universitas Andalas. Hubungan dan Besar Faktor Risiko Pada Anak Balita Kurus Keluarga Miskin di Kota Solok.
Kedokteran 2019.
4. Mayasari D. Stunting, Faktor Risiko dan Pencegahannya. Kedokteran 2018.
5. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Kedokteran 2018.

 

Oleh:

dr. Yohanes Tri Nugroho, MSi., Med., SpA

Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Santo Borromeus

https://rsborromeus.com/yohanes-tri-nugroho/